Sabtu, 28 September 2013

Satria Pinandita, Mahasiswa Pencipta Alat Pengendali Hama Wereng


Terinspirasi dari Gagal Panen, Alat Sudah Dipatenkan

Salah satu kendala yang dihadapi para petani yang ada di desa adalah maraknya hama wereng. Jika diabaikan, tentu akan mengganggu hasil pertanian. Alat ciptaan salah satu mahasiswa Universitas Dian Nuswantoro (Udinus) Semarang ini mungkin bisa jadi solusi. Seperti apa?

Satria Pinandita, remaja kelahiran Semarang 6 Januari 1991 ini sedang menempuh studi akhir tepatnya semester IX Jurusan Teknik Elektro Udinus. Meski sekilas terlihat pendiam, mahasiswa ini sarat prestasi.

Satria pernah meraih juara III Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) tingkat Kota Semarang dan juara II LKTI tingkat nasional. Tak hanya itu saja, ia juga pernah meraih medali perunggu dalam Lomba Penelitian dan Inovasi Internasional di Universiti Teknikal Malaysia Melaka (UTeM) Malaysia. “Semua itu saya dapatkan berkat penelitian dan inovasi yang saya lakukan,” ungkapnya.

Remaja asli Sekaran Gunungpati Semarang ini pernah membuat alat tester kualitas air minum, juga membuat baterai dari tanah lempung. Dan yang terbaru adalah memuat alat pengendali hama wereng yang sekarang sudah mendapatkan hak patennya dari Direktorat Jenderal (Dirjen) Hak Atas Kekayaan Intelektual (Haki) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Republik Indonesia pada Juni 2013 silam.

“Sebenarnya yang terakhir ini merupakan tugas akhir skripsi saya. Karena sudah dipatenkan, akhirnya saya rubah lagi agar tidak sama,” beber alumnus SMA kesatriaan 1 Semarang ini.

Satria menceritakan, awal ia membuat alat tersebut lantaran iseng mengamati daerah persawahan di Purwodadi, daerah ayahnya berasal. Ketika itu, tepatnya saat ia menempuh semester III, banyak para petani yang gagal panen gara-gara sawahnya diserang wereng. Waktu itu juga, ia melihat di sekitar rumah warga banyak wereng yang mendekati lampu. “Dari situ kemudian saya mempunyai hipotesis bahwa wereng itu suka lampu,” imbuhnya.

Gayung bersambut, pada tahun 2011 ketika ada LKTI tingkat Kota Semarang yang diselenggarakan oleh Universitas Negeri Semarang (Unnes) bertema teknologi hijau untuk pedesaan tersebut ia mengikutkan proposal penelitian tentang alat tersebut. “Dewan jurinya sangat tertarik dan saya berhasil meraih juara III,” imbuh sulung dua bersaudara dari pasangan Sumantri dan Diarini Indrianti ini.

Pasca lomba tersebut, Satria tidak berpuas diri. Ia kemudian mengembangkan penelitian untuk membuat purnarupa (prototype) alat pembasmi wereng. Lagi-lagi, dewi fortuna berpihak kepada Satria. Pada tahun 2012 ada LKTI tingkat nasional yang diselenggarakan di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang. “Dengan mengajukan peneltian beserta alatnya, kali ini Alhamdulillah saya dapat juara II nasional,” akunya bangga. 

Mahasiswa yang punya hobi mengotak-atik alat elektronik sejak SMA ini mengaku, membuat alat tersebut butuh waktu yang tidak sebentar. Ia butuh sekitar satu semester atau enam bulan untuk menyelesaikannya.  Tak terhitung lagi berapa kali uji coba harus dijalankan. “Kendalanya adalah dalam membuat program untuk mendeteksi wereng sehingga dapat masuk corong ketika sensor diaktifkan. Melalui motion censor (sensor gerak, Red) itulah kemudian wereng tersebut akan masuk perangkap,” jelasnya.

Karena ini merupakan penelitian pribadi dan rencananya dibuat untuk skripsi, Satria melakukan penelitian dengan biaya sendiri. Karena dosen pembimbingnya, Wisnu Adi Prasetyanto M Eng menyarankan menggunakan sensor, penelitian ini kira-kira menghabiskan biaya Rp 2,2 juta. “Meski begitu, saya puas membuatnya. Dengan alat ini, tidak perlu lagi menggunakan pestisida. Semua menggunakan mekanik,” bebernya.

Hal yang sangat mengesankan bagi Satria adalah ketika menguji coba alat tersebut di persawahan daerah Gunungpati setelah melalui uji coba di laboratorium Fakultas Teknik Udinus. Dengan menggunakan lampu LED lima warna, merah, hijau, kuning, biru dan putih, wereng lebih tertarik kepada warna biru. “Ini sesuatu yang mengejutkan bagi saya,” aku mahasiswa yang bercita-cita menjadi dosen ini. 

Satria berharap apa yang ditemukan ini dapat bermanfaat bagi masyarakat khususnya para petani sehingga mendapat hasil yang maksimal. Meski alat tersebut belum diproduksi secara massal, namun ada rencana untuk ke situ. “Semoga saja ada yang menjadi sponsornya,” harapnya.

Satria juga berpesan kepada teman-teman yang sedang melakukan penelitian untuk terus mengembangkan kreatifitasnya dan dapat diimplementasikan kepada masyarakat. “Tentunya dapat menciptakan sesuatu yang dapat bermanfaat bagi orang lain,” tandas pemilik motto ‘hidup selalu menjadi yang terbaik’ ini. (ahmad.faishol/ton/cel)



0 komentar:

Posting Komentar