Terinspirasi dari Gagal
Panen, Alat Sudah Dipatenkan
Salah satu kendala yang
dihadapi para petani yang ada di desa adalah maraknya hama wereng. Jika
diabaikan, tentu akan mengganggu hasil pertanian. Alat ciptaan salah satu
mahasiswa Universitas Dian Nuswantoro (Udinus) Semarang ini mungkin bisa jadi
solusi. Seperti apa?
Satria Pinandita, remaja
kelahiran Semarang 6 Januari 1991 ini sedang menempuh studi akhir tepatnya
semester IX Jurusan Teknik Elektro Udinus. Meski sekilas terlihat pendiam,
mahasiswa ini sarat prestasi.
Satria pernah meraih juara
III Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) tingkat Kota Semarang dan juara II LKTI
tingkat nasional. Tak hanya itu saja, ia juga pernah meraih medali perunggu
dalam Lomba Penelitian dan
Inovasi Internasional di Universiti
Teknikal Malaysia Melaka (UTeM) Malaysia.
“Semua itu saya dapatkan berkat penelitian dan inovasi yang saya lakukan,”
ungkapnya.
Remaja asli Sekaran
Gunungpati Semarang ini pernah membuat alat tester kualitas air minum, juga membuat
baterai dari tanah lempung. Dan yang terbaru adalah memuat alat pengendali hama
wereng yang sekarang sudah mendapatkan hak patennya dari Direktorat Jenderal
(Dirjen) Hak Atas Kekayaan
Intelektual (Haki) Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Republik
Indonesia pada Juni 2013 silam.
“Sebenarnya yang terakhir ini
merupakan tugas akhir skripsi saya. Karena sudah dipatenkan, akhirnya saya
rubah lagi agar tidak sama,” beber alumnus SMA kesatriaan 1 Semarang ini.
Satria menceritakan, awal ia
membuat alat tersebut lantaran iseng mengamati daerah persawahan di Purwodadi,
daerah ayahnya berasal. Ketika itu, tepatnya saat ia menempuh semester III,
banyak para petani yang gagal panen gara-gara sawahnya diserang wereng. Waktu
itu juga, ia melihat di sekitar rumah warga banyak wereng yang mendekati lampu.
“Dari situ kemudian saya mempunyai hipotesis bahwa wereng itu suka lampu,”
imbuhnya.
Gayung bersambut, pada tahun
2011 ketika ada LKTI tingkat Kota Semarang yang diselenggarakan oleh
Universitas Negeri Semarang (Unnes) bertema teknologi hijau untuk pedesaan
tersebut ia mengikutkan proposal penelitian tentang alat tersebut. “Dewan
jurinya sangat tertarik dan saya berhasil meraih juara III,” imbuh sulung dua
bersaudara dari pasangan Sumantri dan Diarini Indrianti ini.
Pasca lomba tersebut, Satria
tidak berpuas diri. Ia kemudian mengembangkan penelitian untuk membuat
purnarupa (prototype) alat pembasmi wereng. Lagi-lagi, dewi fortuna berpihak
kepada Satria. Pada tahun 2012 ada LKTI tingkat nasional yang diselenggarakan
di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang. “Dengan mengajukan peneltian
beserta alatnya, kali ini Alhamdulillah saya dapat juara II nasional,” akunya
bangga.
Mahasiswa yang punya hobi
mengotak-atik alat elektronik sejak SMA ini mengaku, membuat alat tersebut
butuh waktu yang tidak sebentar. Ia butuh sekitar satu semester atau enam bulan
untuk menyelesaikannya. Tak
terhitung lagi berapa kali uji coba harus dijalankan. “Kendalanya adalah dalam
membuat program untuk mendeteksi wereng sehingga dapat masuk corong ketika
sensor diaktifkan. Melalui motion
censor (sensor gerak, Red)
itulah kemudian wereng tersebut akan masuk perangkap,” jelasnya.
Karena ini merupakan
penelitian pribadi dan rencananya dibuat untuk skripsi, Satria melakukan
penelitian dengan biaya sendiri. Karena dosen pembimbingnya, Wisnu Adi
Prasetyanto M Eng menyarankan menggunakan sensor, penelitian ini kira-kira
menghabiskan biaya Rp 2,2 juta. “Meski begitu, saya puas membuatnya. Dengan
alat ini, tidak perlu lagi menggunakan pestisida. Semua menggunakan mekanik,”
bebernya.
Hal yang sangat mengesankan
bagi Satria adalah ketika menguji coba alat tersebut di persawahan daerah
Gunungpati setelah melalui uji coba di laboratorium Fakultas Teknik Udinus. Dengan
menggunakan lampu LED lima warna, merah, hijau, kuning, biru dan putih, wereng
lebih tertarik kepada warna biru. “Ini sesuatu yang mengejutkan bagi saya,” aku
mahasiswa yang bercita-cita menjadi dosen ini.
Satria berharap apa yang
ditemukan ini dapat bermanfaat bagi masyarakat khususnya para petani sehingga
mendapat hasil yang maksimal. Meski alat tersebut belum diproduksi secara
massal, namun ada rencana untuk ke situ. “Semoga saja ada yang menjadi
sponsornya,” harapnya.
Satria juga berpesan kepada
teman-teman yang sedang melakukan penelitian untuk terus mengembangkan
kreatifitasnya dan dapat diimplementasikan kepada masyarakat. “Tentunya dapat
menciptakan sesuatu yang dapat bermanfaat bagi orang lain,” tandas pemilik
motto ‘hidup selalu menjadi yang terbaik’ ini. (ahmad.faishol/ton/cel)